Selasa, 07 November 2017

JOMBLO IS BEAUTIFUL




Nama aku Adit. Umur aku 20 tahun lebih 3 bulan 2 hari 3 jam. Detil banget aku ya...
Aku bangga banget punya nama sekeren Adit. Mirip nama artis ngetop sih. Entah apa yang ada di pikiran aku waktu ngasih aku nama itu. Sebenarnya aku bukan orang tajir sih, tapi dia punya otak yang lumayan cerdas.
Aku sekarang jomblo. Bukannya aku bangga dengan kejombloan aku, cuma aku mikir kalau jomblo itu keren. Dan aman di kantong. Mengingat uang saku kuliah aku pas-pasan, mana cukup untuk nraktir seorang cewek. Makan di kantin aja aku sering ngutang. Makanya wajah aku sering nongol di facebooknya ibu kantin. Dengan stempel "WANTED" pula. Busyet dah...
Seperti biasa, siang ini aku nongkrong didepan kampus bareng temen-temen setia aku. Ada Shandy, Niko dan Radit. Shandy adalah orang paling tajir diantara kami bertiga. Wajahnya lumayan keren, kulitnya putih dan tinggi. Banyak banget cewek yang naksir dia.
Sobat aku yang kedua adalah Niko. Dia anak ustadz. Makanya dialah yang paling alim diantara kami semua.
Sedang Radit adalah yang paling jenius diantara kami berempat. Dia seperti cahaya terang dikegelapan malam saat datang rintik hujan bersama sebuah bayang. Apaan, Iwan Fals. Lebay-nya aku...
Tapi kami semua jomblo. Nggak tahu kenapa kami susah banget dapet cewek. Padahal wajah kami lumayan tampan dan penampilan kami juga keren. Cie-cie orang keren. Tapi jangan salah, meskipun kami jomblo kami tetap bahagia.Hahahah...
"Liburan semester ntar kemana guys?" tanya si tajir Shandy memulai topik percakapan.
"Aku sih mau ngitemin kulit,"sahutku cepat. Kulit dah sawo matang gitu mau berjemur lagi, entar pulang berjemur dah mirip orang Papua sana. Hahaha...
"Maksud loe?"sahut Radit seraya mengerutkan dahinya yang ditumbuhi sebuah jerawat kecil.
"Aku mau liburan ke Bali. Berjemur di pantai gitu,"jelasku melantur.
Mereka bertiga langsung meledakkan tawa. Geli mendengar celutukanku.
"Mau ngitemin kulit aja ngapain jauh-jauh ke Bali segala? Tuh, berjemur aja di atas genteng rumah aku. Sama kok itemnya," ledek Radit sembari menepuk pundakku. Disambut tawa lagi oleh Shandy dan Niko.
"Sebenernya aku mau dijodohin nih," ungkap Shandy beberapa saat setelah suasana mereda.
Kami bertiga kaget. Di jaman semodern ini kok masih ada acara perjodohan seperti itu? Maklumlah orang kaya. Mereka takut dapat menantu orang miskin. Yah, kayak Siti Nurbaya gitu deh..
"Bukannya itu bagus buat loe, Shan," timpal Niko." Jadi loe nggak jomblo lagi dong."
"Bener tuh kata Niko," sahut aku ikut nimbrung.
"Kalian sih nggak tahu," tukas Shandy dengan wajah yang tak begitu gembira."Aku tuh naksir sama Risty. Kalian juga tahu itu kan..?"
Kami manggut-manggut. Emang dari dulu Shandy naksir berat sama Risty. Cewek itu emang bener-bener istimewa. Cantik, tinggi, langsing, dan aktif di kegiatan sosial kampus. Idaman Shandy banget.
"Tapi apa loe akan menolak perjodohan itu..?" tanya Radit kemudian. Meminta pendapat Shandy.
"Aku nggak tahu,"ucap Shandy seraya menggeleng.
"Sabar ya bro,"ucapku sembari menepuk-nepuk pundak Shandy."Menurut aku apa yang dipilihkan orang tua loe, pasti yang terbaik buat loe.." ucap aku sok berdiplomatis ala-ala pengacara ulung gitu..
"Ah loe, Dit. Coba loe yang dijodohin, emang loe mau apa..?" celutuk Radit sekenanya.
"Aku sih mau-mau aja, Ka," cerocosku seraya nyengir kuda.
"Dasar lo! Nggak punya malu," olok Radit. Dan ujung-ujungnya ketiga sobat aku itu menimpuk bahu aku sampai aku kapok meringis kesakitan.
***

"Udah pulang Dit..?" seru bokap aku dari kamar. Siang-siang gini ia pasti sedang sibuk tidur siang sepulang dari kantor kecamatan.
"Iya, Yah..!" balasku dengan berseru pula. Tumben dia nggak ngomel karena aku pulang telat.
Aku langsung ngacir ke dapur karena perut aku sudah kelaparan dari tadi. Masak apa nyokap aku hari ini?
"Kok cuma tahu goreng sama ikan asin sih.." gerutu aku saat mengetahui apa yang tersembunyi dibalik tudung saji.
"Udah dimakan aja.."sahut nyokap aku yang tiba-tiba muncul di belakang aku."Itu juga rezeki dari Allah yang patut kita syukuri.." imbuhnya lagi.
Kalau sudah bicara seperti Ustadzah yang biasa nongol di tivi seperti itu aku nggak bisa berkomentar apa-apa. Tanpa banyak bicara aku langsung mengambil piring kosong dan menyenduk nasi. Meskipun makan hanya dengan lauk tahu dan ikan asin goreng, tapi jika nyokap yang masak tetap saja nikmat. Terlebih perut aku sudah nggak kuat menahan lapar lebih lama lagi.
"Kalau udah kelar makannya, cuci piringnya sekalian. Ibu mau nganter cucian kerumah Bu Retno,"
Aku kaget. Dan langsung berdiri dari tempat duduk aku seperti baru saja kesetrum listrik. Pasalnya nyokap aku baru saja menyebut nama Bu Retno. Bukankah Bu Retno adalah ibunya Dewi, cewek impian aku yang punya senyum termanis di gang ini.
"Biar Adit aja yang nganterin cuciannya,"tawarku dengan suara lantang. Bersemangat.
"Tumben.." sahut nyokap heran."Biasanya kamu paling males kalau disuruh nganter cucian.."
"Ah, ibu ini. Dibantuin bukannya berterimakasih.." ucap aku bersungut-sungut. Aku bergegas mengambil alih cucian yang harus segera diantar ke rumah Dewi.
"Hati-hati..!"
"Sip..!"
Aku menyambar kunci motor Vespa milik bokap aku di atas meja lantas bergegas mengendarai motor buatan Italy itu menuju ke rumah Dewi. Sebenarnya jarak dari rumah aku ke rumah Dewi nggak begitu jauh. Tapi aku males jalan kaki karena matahari sedang di atas kepala. Panas menyengat kulit.
"Mau kemana Dit..?!"
Seruan itu datang dari mulut Bang Supri, tetangga sebelah rumah. Aku dan Bang Supri satu geng. Hampir tiap malam kami bermain catur bersama. Kadang kami pergi meronda bareng. Nonton bola sambil ngopi di warung, sesekali taruhan juga. Pokoknya aku dan dia seperti saudara kembar tapi bukan kembar siam. Seperti Upin dan Ipin.
"Mau nganter cucian Bang, Mau ikut.?" balasku seraya berteriak.
"Makasih dah..!"sahutnya.
"Yok Bang, aku pergi dulu..!"
Sambil bersiul kecil aku meluncur pelan di gang. Anak-anak kecil banyak berkeliaran di tepi jalan membuat aku kudu ekstra hati-hati.
Aku sampai didepan rumah Dewi dengan selamat. Tapi apes nasib aku kali ini. Karena yang membuka pintu bukan Dewi, tapi bRaditpnya.
"Siang Om.." sapa aku sopan. Siapa tahu bokap Dewi terkesan dengan sikap sopan aku sehingga aku dijadiinn mantunya. Ngarep banget sih aku, hehe....
"Siang, Adit. Ada apa ya..?"
"Ini Om, mau nganter cucian.." ucap aku sambil menyerahkan bungkusan ditangan aku.
"Rajin amat," puji bokap Dewi. Membuat kepala aku serasa melembung jadinya.
"Ah, nggak juga. Kebetulan ibu lagi capek.." sahutku pura-pura malu. Aku nggak perlu lama-lama ada disana. Aku langsung pamit setelah memberikan cucian itu pada pemiliknya. Lagian Dewi-ku juga nggak nongol.
Apesnya aku hari ini. Impian aku ketemu sang Dewi pujaan hati pupuslah sudah. Alamak....
***
"Shandy mana..? Kok aku belum ngeliat dia seharian ini..?"celutuk Radit seraya meletakkan mangkuk bakso dan segelas es teh diatas meja kantin.
Kali ini tongkrongan kami pindah ke kantin. Selain disana adem juga kami ingin mengisi perut yang kosong.
"Dia udah pulang duluan. Katanya mau jemput ceweknya.."sahut aku cepas ceplos.
"Cewek yang mana..?" timpal Radit sedikit heran.
"Yang mana lagi kalau bukan yang dijodohin sama dia.."jawab aku.
"Dia mau sama cewek itu..?" tanya Radit sambil mengunyah makan siangnya.
"Gimana mau nolak, kalau cewek itu cantiknya selangit. Selevel sama dia lagi.."sahut aku antusias.
"Wow, ini baru berita bagus bro..!" seru Radit tampak gembira mendengar kabar tentang Shandy. Tapi yang aneh kenapa si alim Niko diem terus dari tadi. Nggak biasanya dia seperti itu.
"Loe kenapa sih bro, kok diem mulu dari tadi..? Loe punya masalah..?"
Aku menepuk pundak Niko pelan. Takut dia akan kaget dan berteriak menakuti seisi kantin.
Niko menggeleng. Tapi bener juga, gelagatnya aneh. Seperti bukan Niko yang biasanya.
"Loe sakit..?" desak Radit ikut nimbrung. Tapi lagi-lagi Niko menggelengkan kepalanya.
"Aku sedang jatuh cinta bro." ungkap Niko beberapa saat kemudian. Cukup pelan tapi membuat aku dan Radit shock.
"Whaaat???!!!" teriak aku tanpa sadar. Menimbulkan reaksi dari seisi kantin, termasuk ibu kantin yang gendut itu. Wanita itu langsung mendelikkan matanya ke arah aku.
Aku cuma bisa nyengir sambil melambaikan tangan ke arah ibu kantin. Lalu tersenyum semanis semangka untuk meluluhkan hati wanita gendut idola mahasiswa-mahasiswa kelaparan itu.
Kembali ke topik semula....
"Yang bener bro..? Sama siapa..? Cantik nggak..?" serbu aku penasaran.
"Loe tuh nggak bisa pelan-pelan apa..? Nanya tuh satu-satu dong.."protes Niko ke aku.
Aku cekikikan melihat reaksi Niko.
"Abisnya aku penasaran banget sih.." tukas aku kemudian.
"Terus terus gimana..?" celutuk Radit menengahi.
"Dia tuh kalem banget bro, anaknya Ustadz di tempat aku. Tapi aku takut mau nembak dia. Aku takut ditolak.." papar Niko sesingkat mungkin.
"Kalau loe takut kapan loe punya cewek..?" timpal Radit cepat."Mendingan loe ditolak daripada loe nggak pernah ngungkapin perasaan loe sama dia. Aku bener kan.?" lanjutnya lagi.
"Bener bener.." sahut aku sambil manggut-manggut. Ucapan si jenius memang bener.
"Tapi..."
"Loe takut..?" tanya Radit. Disambut gelengan kepala Niko."Terus..?" desak Radit mengejar.
"Aku nggak pede.."ucap Niko pelan.
"Pake Rexona dong biar pede.." celutukku sekenanya.
"Loe nih, serius dikit napa.." protes Niko seraya bersungut-sungut ke arah aku. Dari dulu penyakit usil aku belum sembuh juga.
"Sorry...sorry.." ucap aku kemudian memperbaiki suasana.
"Pantesan aja dari dulu loe jadi jomblo. Karatan lagi.."ledek Radit diiringi gelak tawa. Niko juga ikut meledakkan tawanya.
"Jomblo aku jangan dibawa-bawa dong.." ucap aku sewot. "Biar jomblo gini aku tetep keren kok.."
"Huuuuuu..." mereka berdua menyoraki aku dengan kompak seperti paduan suara saja.
***
Akhirnya Shandy jadian juga dengan cewek yang dijodohkan dengannya. Aku ikut senang mendengarnya. Kebahagiaan sahabat berarti kebahagiaan aku juga.
Niko juga sama. Ada perkembangan baik tentang asmaranya.
Tinggal nasib aku dan Radit yang dipertaruhkan disini. Aku sama Radit masih sama-sama jomblo. Itulah pokok persoalannya. Rumit bukan..?
Imbasnya siang ini sepulang kuliah tempat tongkrongan kami sepi. Cuma aku yang celingak-celinguk mencari anggota geng aku. Tapi nggak ada satupun yang tampak batang hidungnya.
Akhirnya aku kabur ke kantin untuk menyelamatkan perut aku yang keroncongan. Daripada menunggu mereka di tempat biasa mending aku ke kantin sambil cuci mata. Lagian pulsa aku juga habis, nggak bisa buat sms-in mereka satu-persatu.
"Mau ngutang lagi..?" serbu ibu kantin dengan tampang tergalaknya.
"Ah ibu kantin tersayang...." aku mulai mengeluarkan jurus maut rayuan gombal termanis yang aku punya."Masa cowok seganteng dan sekeren aku mau ngutang sih. Apa kata dunia..?"
"Halaa... biasanya juga loe ngutang.." timpal ibu kantin denngan gaya genitnya.
"Emang boleh ngutang..?" bisik aku sambil mengedipkan sebelah mata.
"Boleh.." sahut ibu kantin sambil tersenyum manis."Tapi loe harus nyuci piring disini gratis selama sebulan. Gimana..? Mau nggak..?"
"Aih, ibu kantin ini tega banget.."ucap aku berlagak memelas."Emang ibu kantin udah nggak sayang lagi sama Adit, cowok terkeren di kampus ini..?" tawa aku meledak saat itu juga.
"Udah jangan banyak ngomong, loe mau makan atau nggak sih..?"desak ibu kantin penuh pemaksaan.
"Nggak jadi deh, aku mau pulang aja.." ucap aku sambil ngeloyor pergi dari hadapan ibu kantin.
"Dasar nih anak. Awas kalau kesini lagi.." gerutu ibu kantin kesal. Sementara aku hanya bisa cekikikan melihat reaksi ibu kantin yang menggelikan.
Pas pulang aku melihat Dewi sedang dibonceng seorang cowok. Sepertinya pacar Dewi, karena setahu aku Dewi nggak punya saudara laki-laki. Kebayang kan bagaimana hancur luluhnya hati aku. Ternyata sang Dewi pujaan hati sudah ada yang punya.
Oh my God...
Beginilah rasanya orang patah hati. Kasih tak sampai.Hiks....
***
"Jalan Bang.." suruh aku pada Bang Supri. Aku sedang main catur dengannya. Dan sepertinya Bang Supri sedang terjepit.
"Malem Minggu nggak keluar Dit..?" tanya Bang Supri di sela -sela pertandingan.
Nih orang mulai mengalihkan perhatian,batin aku agak kesal. Ini termasuk salah satu trik Bang Supri agar aku kehilangan konsentrasi.
"Males Bang. Nggak punya duit.." sahut aku beralasan.
"Nggak punya duit atau nggak punya cewek..?" sindir Bang Supri tenang. Ia menjalankan pionnya kemudian.
"Nggak punya dua-duanya, Bang.." sahut aku jujur.
Bang Supri terkekeh.
"Emang si Dewi kenapa..? Loe udah nggak suka sama dia..?" cecar Bang Supri ingin menyingkap rahasia hidup aku.
"Dia udah punya cowok Bang.." sahut aku.
"Sabar Dit.." ucap Bang Supri sambil menepuk-nepuk pundak aku."Skak mat..!" serunya mengejutkan aku.
"Kirain sabar apaan.." gumam aku.Aku kalah lagi untuk kesekian kalinya.
"Loe haus nggak..?" tanya Bang Supri lagi.
"Haus sih Bang, tapi aku lagi bokek nih.."
"Tenang aja, aku yang bayarin. Tapi kopi segelas sama pisang goreng doang.."
"Oke. Nggak papa.." sahut aku girang.
Aku dan Bang Supri bergegas melangkah ke warung kopi yang terletak di dekat pos ronda. Seperti biasa. Untuk meneguk segelas kopi dan sebuah pisang goreng sembari bercerita ngalor ngidul bareng bapak-bapak yang rutin ngumpul disana.
Beginilah nasib seorang jomblo seperti aku. Menikmati hidup yang ada. Meski ada yang kosong dalam hati dan hidup aku, tapi aku nggak pernah merasa kesepian. Aku selalu merasa bahagia dengan apa yang aku punya sekarang.
Tapi aku yakin Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik buat aku di suatu tempat. Dan dia juga merasakan kejombloan seperti yang aku rasakan sekarang.

Buat aku menjadi jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan. Selama aku bisa menikmatinya, dan enjoy dengan hidup aku kenapa nggak..? Karena buat aku jomblo itu indah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suatu ketika, aku pernah harus merelakan sesuatu Sesuatu yang sama sekali tidak ingin kulepas Butuh proses yang cukup kuat untuk bisa meyaki...