Sabtu, 29 Maret 2014

Mencintaimu Cukup Bagiku

Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.
Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.
“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.
Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!
Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.

***

“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.

Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.

“ ayo vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.

“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.

“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.
“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.
“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.
Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan vi?.” Tanya ku

Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah sivia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...

“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.
Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.
“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.

Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.
Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***
“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.
“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu





BENCIKU ADALAH CINTAKU





Disebuah SMA ada salah seorang siswi yang bernama Tita Ayusita yang lebih dikenal dengan panggilan Tita yang telah duduk di kels XII. Tita memiliki 2 sahabat cewek yang bernama Nurul, dan Nungky. Mereka bertiga jika bertemu, sangat kelihatan akrab dan kompak. Maklum, mereka sudah berteman sejak kelas VII SMP. Tita sangat membenci salah seorang teman laki-lakinya yang bernama Yudha. Nama lengkapnya Yudha Septino Aji. Setiap kali bertemu, hanya ada pertengkaran diantara Tita dan Yudha. Tita yang begitu sangat sensitif dengan Yudha, selalu saja mengejek Yudha dengan sebutan “Sok Cengir” yang artinya, sok cakep, ganteng, dan pintar. Memang sih, Yudha juga termasuk siswa yang berprestasi dalam menyampaikan pendapat, itulah salah satu yang dibenci oleh Tita.
Suatu hari, pada pelajaran Biologi semua siswa di tugaskan mencari satwa-satwa yang hampir punah di hutan Gregek dan flora-flora yang unik. Di hutan itu, Ibu Reni membagi kelompok menjadi 2 orang setiap kelompok. Kelompok pertama, Arina dan Elo. Kelompok kedua, Gracia dan Beno. Kelompok tiga, Rio dan Vanneza. Kelompok empat, Nurul dan Nungky. Sejak mendengar jika sahabat-sahabat Tita sekelompok berdua, Tita terus saja berdoa agar dia tidak dikelompokkan dengan Yudha. Selanjutnya, adalah pengumuman kelompok terakhir. Ibu Reni pun segera menyebutkan nama anggota kelompok tersebut.
“Kelompok lima adalah Tita dan Yudha.” Kata Ibu Renhita
“Apa? Gue sekolompok dengan Yudha? Aku tidak mau Bu. Please!” mohon Tita
“Tita, semua anggota kelompok sudah Ibu atur, dan perasaan kalau ibu pikir-pikir, lebih baik kamu sekolompok dengan Yudha, karena Yudha pintar dalam berbicara. Mau?” kata Ibu Renhita
“Tapi, bu......?? emangnya tidak ada teman yang lain selain si sok cengir ini?” Tanya Tita
“Tita, Yudha itu berprestasi. Jadi, lebih baik kamu berteman dengan Yudha.” Jawab Ibu Reni
“Hmm, kayaknya kamu tidak suka yah, Tita kita satu kelompok? Dan kamu pikir aku suka sekolompok sama kamu?” tegas Yudha menatap mata Tita dengan tatapan yang sangat dekat
Tita hanya terdiam sejenak mendengar kata-kata Yudha padanya. Dan kemudian, Tita membalasnya dengan tatapan yang sama.
“Heh, sampai kapanpun aku akan tetap benci sama kamu. Ngerti?” Lanjut Tita
“sampai kapan kamu bisa bertahan seperti itu? Dan, pasti suatu saat nanti kamu akan mencari dan mengejar-ngejar aku, kan?” Sahut Yudha
Disuatu tempat yang jalannya sempit dan disetiap tepi jalanan itu ada jurang. Kaki Tita terpeleset, dan hanya Yudha lah yang bisa menolong Tita saat itu.
“Aaaaah,, Yudha tolongin aku!” Teriak Tita
“Eh,, iya iya. Makanya hati-hati, jangan kebanyakan cengar-cengirnya.” Kata Yudha
“Enak aja, ini tuh aku juga terpaksa banget minta tolong dengan kamu, soalnya sudah tidak ada teman yang lain.” Jawab Tita
“Ih, syukur-syukur yah kalau gue nolongin lo.” Kata Yudha
Tita pun terdiam dan merasa bersalah dengan Yudha, tetapi Tita selalu berbohong kepada dirinya sendiri untuk tidak memuji Yudha.
Dipertengahan hutan, Tita merasa kehausan, padahal ditengah hutan tidak ada teman yang lain selain Yudha.
“Aduh, aku haus banget. Apalagi, bekalan air minumku sudah error.” Kata Tita sembari meminta air minum dari Yudha
“Hm, nih. Minum aja air minumku.” Kata Yudha
“Trus, kamu. Kamu memangnya tidak haus yah? Mendingan kamu simpan saja buat bekal kamu nanti.” Kata Tita
“Tidak apa-apa. Mumpung aku lagi baik nih. Kalau nanti benciku kambuh lagi, gimana coba?” ancam Yudha
“Yah sudah, kalau kamu pinginnya gitu. Sini gue minum (sambil merampas air yang dipegang oleh Yudha).” Kata Tita
Setelah penelitian selesai, semua siswa kembali melanjutkan aktivitas sekolah seperti biasanya. Begitupun Tita, Nurul dan Nungky yang tetap kompak bersama. Dibalik semua itu, sikapYudha sekarang telah berubah pada Tita.
Yudha selalu saja mendekati Tita. Entah, apakah Yudha hanya ingin membuat Tita GR atau hal lain yang serupa.
“Hm. (sambil duduk disamping Tita).” Ucap Yudha
“Hm too. Ada apa loh sok cengir?” ejek Tita
“Tidak ada apa-apa. Emang salah kalau kita baikan? Tidak enak kan jika kita saling benci-bencian.” Jawab Yudha
“Jadi, maunya kamu kalau kita baikan? Gitu?” Tanya Tita           
“Yo’i.” Jawab Yudha dengan singkatnya
“Emangnya lo kesambet setan apa sih? Ko’ lo tiba-tiba aja mau baikan sama gue?” Tanya Tita keheranan
“Karena......”Kata Yudha yang membuat Tita menjadi penasaran
“Karena apa? Karena kamu mau buat aku GR gitu?” Tanya Tita
“Karena aku sayang sama kamu (dengan suara berbisik).” Kata Yudha terus terang
“Nah, mulai lagi yah ngebuat aku jadi GR melulu. Lho pikir gue akan terpengaruh begitu saja?”Tanya Tita
“Tidak, aku serius. Aku mohon kamu bisa mengerti. Ok?” Kata Yudha
Hati Tita terasa berbeda dengan yang sebelumnya. Biasanya, Tita hanya berpikiran kalau semua itu hanya canda. Namun, kali ini hati Tita bagaikan keliru dalam memilih, apakah Yudha itu serius ataukan cuman mempermainkan Tita saja.
Malam minggu telah tiba, dering telepon genggam Tita kemudian terdengar. Ternyata, ada panggilan masuk dari nomor baru tanpa nama. Ternyata itu adalah Yudha.
Tita langsung mengangkat telepon itu. Dan, ketika penelpon itu menyebutkan namanya yaitu bahwa kalau dia itu sebenarnya adalah Yudha, Tita langsung heran seketika dan berpikir kalau dimana Yudha mendapat nomor handphonenya.
“Hey, lama banget ngangkatnya. Ini gue, Yudha. Trus, gimana dengan jawaban lho dengan pertanyaan gue yang di taman sekolah tadi? Mohon dijawab yah,,,??” Tanya Yudha seolah meminta jawaban
“Em, sebelum aku menjawab. Aku mau nanya, kalau kamu itu beneran serius atau Cuma mainin aku, soalnya kita tahu sendiri kan kalau kita berdua musuhan.” Kata Tita
“Emang sih kalau kita musuhan, namun emang salah jika seorang musuh menyimpan rasa kepada musuhnya sendiri?” Tanya Yudha
“Tidak.” Jawab Tita dengan singkat
“Jadi, kamu mau kan jadi pacar aku?” Tanya Yudha
“Iya.” Jawab Tita dengan sepenuh hati
“Yang bener?” Tanya Yudha kembali
“Iya.” Jawab Tita
“Yes,, yes yes.... hehehehehy   yyyeee. Uhuyyyy,,,, yes yes yes. Thank’s.” Ucap Yudha dengan bahagia
“Ih, apaan sih. Baru aja gitu.” Kata Tita
“Thank’s my darling.” Jawab Yudha
“hm, Mulai deh.” Kata Tita
Setelah mereka jadian, Tita terpikir dengan teman-temannya yang cuman taunya kalau Tita dan Yudha itu musuhan dan tidak mungkin berpacaran. Dan kemudian, Tita kembali menelpon Yudha mengenai hal itu.
“Yud,” kata Tita
“Ada apa sayang?” Tanya Yudha
“Setelah kita jadian sekarang, aku pengen kalau kita tidak usah kasi tau keteman-teman kita mengenai hubungan kita. Please.” Kata Tita
“Trus, kalau mereka nanya? Gimana?” tanya Yudha
“Yah, tinggal bilang aja kalau kita tetap bermusuhan. Ok?” Jawab Tita
“OK.” Kata Yudha
Setiap kesekolah, Yudha dan Tita selalu semobil. Mereka selalu bersama kesekolah. Namun, untuk menghindari kecurigaan sahabat-sahabat mereka. Tita harus turun dari mobil Yudha pas di depan pintu gerbang sekolah. Sebenarnya, Yudha tidak mau lihat Tita jalan sendiri masuk kesekolah, sedangkan dirinya naik mobil. Namun, setiap kali Tita keluar dari mobil Yudha, Yudha terus saja berkata: “Jangan berpikiran yang aneh yah tentang aku jika aku naik mobil sedangkan kamu jalan kaki masuk ke sekolah.”. Lalu, Tita kemudian menjawab:”Tidak akan mungkin, karena kita kan sudah setuju bersama. Apa lagi yang mau dikhawatirkan. Dan, yang penting semua sahabat-sahabat kita tidak jadi curigaan sama kita. Ok?”
Suatu saat, Yudha membawa Tita kerumahnya. Disana Tita langsung diperkenalkan dengan orang tua Yudha. Orang tua Yudha kelihatan setuju-setuju saja dengan hubungan mereka, namun orang tua Yudha selalu berpesan agar jangan melewati hubungan seorang saudara. Mereka berdua pun mengikuti apa kemauan orang tua Yudha.
Selanjutnya, giliran Tita lah yang membawa Yudha kerumahnya untuk diperkenalkan juga kepada orang tua Tita. Harapan Tita, agar orang tuanya sepikiran dengan orang tua Yudha yang baik hati.
Namun, semua itu diluar dugaan ketika Yudha menyebutkan nama ayah dan ibunya yang dianggap musuh oleh ayah Tita. Tita sungguh tak menyangka hal ini akan terjadi. Dan, akhirnya ayah Tita melarang Tita berhubungan dengan Yudha.
“Keluar kamu. Kamu dan orang tua kamu pasti sama saja. Sama-sama mau menghancurkan rumah tangga saya.” Kata ayah Tita
“Ayah apa-apaan sih? Ayah ko’ jadi gini? Memangnya ada apa dengan orang tua Yudha Yah?” Tanya Tita
“Tita, diam kamu. Ayahnya dia sudah membuat jabatan ayah hilang dari kepanitiaan.” Jawab ayah Tita dengan marahnya
“Tapi, apa salahnya dengan Yudha ayah? Yudha tidak tau apa-apa!” kata Tita sambil menangis didepan ayahnya
“Buat apa kamu tangisin dia? Kamu pikir ayah setuju apa, dengan hubungan kalian berdua?” tanya  ayah Tita
“Tapi aku sayang sama dia ayah.” Jawab Tita
“Kurang ngajar kamu (menampar pipi Tita).” Kata ayah Tita
“Om, jangan lakuin itu om. Semua ini salah aku. Dan, om itu marahnya sama aku, bukan sama Tita. Jadi, kalau om mau nampar aku, silahkan. Tampar saja aku. Tapi, aku mohon om, jangan sakiti Tita.” Jawab Yudha
“Kalian sama saja. (sambil menampar Yudha).” Kata ayah Tita
“Ssudah yah, ayah jangan sekejam itu.” Pintah Ibu Tita
“Ibu......” Jerit Tita
“Iya sayang, mendingan kamu ikutin saja apa maunya ayah kamu.” Usul Ibu Tita padanya karena kasih sayangnya kepada Tita
“Apa bu? Kalau begitu Ibu sama saja sama ayah. Tidak mau ngeliat anaknya senang.” Jawab Tita
“Semua ini gara-gara kamu (sambil menunjuk Yudha). Sekarang, kamu pergi dari rumah ini dan jangan lagi kamu menampakkan diri didepan saya. Ngerti kamu?” Kata ayah Tita yang sedang mengancam Yudha
“Yudha.... jangan pergi Yud...... tunggu aku, aku akan ikut sama kamu.” Kata Tita
“Masuk kamu, Tita. Dasar kamu anak yang tidak tau diuntung. Sekarang kamu masuk kamar. Masuk. Masuk ayah bilang. (sambil menyeret Tita)” kata ayah Tita
“Yudha,,,,, tunggu akuuuuu.... Ayah jahat.” Kata Tita
Di kamar, Tita sendirian. Apalagi, sekarang Tita tidak bisa dan tidak boleh keluar. Sebab, pintu kamar Tita dikunci oleh ayahnya.
Tita langsung menelpon Yudha.
“Yud, bawa aku kabur dari rumah aku. Aku sudah tidak tahan sendirian tanpa ada kamu disini.” Jerit Tita dengan tangisan yang berarti
“Iya sayang, sebenarnya aku mau banget nolongin kamu, tapi aku harus berbuat apa? Apalagi ayah kamu benci banget sama aku dan orang tua aku hanya gara-gara bisnis.” Kata Yudha pada Tita
“Sekarang, aku mau kabur lewat jendela. Aku mohon, kamu tungguin aku di depan rumah yah sayang?” Tanya Tita
“Mendingan sekarang kamu temuin aku di seberang jalan, kebetulan aku masih ada disini.” Kata Yudha
“Iya, tungguin aku sayang.” Kata Tita
Merekapun bersama di tempat yang sunyi dan sama-sama berpikir, bagaimana caranya agar mereka bisa bersama kembali.
Mereka duduk bersama diatas mobil Yudha yang berwarna merah. Kemudian, Tita menyanyikan sebuah lagu.
Hilang semua janji
Semua mimpi-mimpi Tita
Hancur hati ini, melihat semua ini
Lenyap telah lenyap
Kebahagiaan dihati
Ku hanya bisa menangisi semua ini
Hancur hati ini melihat kau telah pergi
Kemudian, Yudha melanjutkan lagu yang dinyanyTitan oleh Tita.
Langit menjadi gelap berkelabu
Menyelimuti hatiku
Mengubah seluruh hidupku
Lalu, mereka berduapun sama-sama bernyanyi meratapi apa yang mereka rasakan sekarang ini pada dirinya.
Mengapa semua, jadi begini
Perpisahan yang terjadi
Diantara kita berdua
Ku akan menanti sebuah keajaiban
Yang membuat kita bisa bersama kembali
Setelah mereka menyanyikan lagu itu, mereka sama-sama tertidur. Tepat pukul 02.00, Tita terbangun dan kemudian Ia langsung menyuruh Yudha agar dirinya diantar pulang kerumahnya agar ayahnya tidak mengetahui di pagi hari jika Tita sedang tidak ada di rumah, dan sedang bersama dengan Yudha.
Dipagi hari, Tita diantar naik mobil oleh sopir pribadinya. Namun, di tengah jalan, Tita minta turun. Tita meminta turun dari mobil oleh sopir pribadinya sebab Ia ingin berangkat ke sekolah bersama dengan Yudha dan dengan menaiki mobil mewah Yudha. Semalam, mereka berjanjian untuk bertemu di depan kios duren. Akhirnya mereka bersama. Dan kemudian, tidak lupa pula Tita menyampaikan pesan kepada sopirnya itu, agar Ia tidak buka mulut  mengenai berangkatnya Tita dengan Yudha ke sekolah kepada ayahnya. Akhirnya, sopirnya menurut, karena sopirnya sayang sama Tita sebab Tita sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Eh,. Kamu yakin, kalau pak Sumardi tidak buka mulut pada ayah kamu?” Tanya Yudha
“Ya iya lah. Pak sumardi itu sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri.” Jawab Tita
Tiba-tiba, saat Tita turun di depan gerbang sekolah, Tita ketahuan berangkat dengan Yudha oleh Nurul dengan Nungky. Mulai saat itu, mereka berdua curiga dengan Tita dan Yudha. Bukan hanya Nurul dan Nungky yang curiga dengan Tita dan Yudha. Akan tetapi, begitupun juga dengan kedua sahabat Yudha yaitu Gilang dan Bayu.
Di lapangan sekolah, Yudha ditanya oleh Gilang dan Bayu bahwa:
“Sob, ada hubungan apa lo dengan si cewek manja itu? Bukannya kalian itu bermusuhan? Ko’ aku lihat tadi kalau kalian berdua sama-sama berangkat ke sekolah.” Tanya Gilang pada Yudha dengan keheranan
Kemudian, Tita tidak sengaja lewat di samping Yudha dan dengan sengaja mendengar pembicaraan mereka.
“Tita maksud loh? Ah, tidak ko’, mana mungkin gue suka sama dia? Apalagi jika sampai-sampai aku pacaran sama dia? Dan jika aku pacaran sama dia dengan sembunyi-sembunyi dari kalian, aku Cuma mainin hati dia saja. Dia kan cuma cewek yang gampang dibodohin dan dibohongin. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sayang sama dia, malaupun semua itu dalam terpaksa. (kata Yudha hanya ingin meyakinkan teman-temannya agar Ia tidak curiga dengan hubungan mereka berdua, padahal, Yudha sangat sayang sama Tita.).” jawab Yudha
Tita menangis, dengan mendengar kata-kata yang dikatakan oleh Yudha. Karena dia pikir Yudha serius dengan kata-katanya. Tita pun lalu lari ke seberang jalan sambil menangis.
“Yudha, kamu jahat!!” Kata Tita
“Tita, tunggu aku. Semua itu cuman bohong.” Jawab Yudha
“Aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.” Kata Tita
“Tapi kan kita sudah berjanji kalau kita tidak akan mengatakan ini semua kepada sahabat-sahabat kita. Apa kamu lupa?” Tanya Yudha
“Aku tidak lupa. Aku pun selalu ingat semua itu. Bahkan aku sembunyikan semua itu kepada sahabat-sahabat kita.” Jawab Tita
“Trus, mengapa kamu ngambek kayak gini? Aku tidak ngerti sama kamu.” Kata Yudha
“Tapi, tidak gini juga caranya Yudha.” Tangis Tita
Dengan kata-kata mereka berdua, teman-teman mereka merasa bingung dengan apa yang terjadi dengan Yudha dan Tita.
Setelah Tita mau menyeberang, Tita mengancam Yudha dengan bunuh diri. Yudha terus saja menahan Tita untuk melakukan itu semua. Akan tetapi, Tita terus saja nekat dengan kata-kata yang baru saja dikeluarkannya.
“Selangkah lagi kamu mendekat, aku akan menabrakkan diri aku ke kendaraan yang lewat.” Ancam Tita pada Yudha
“Tita, jangan lakuin itu, aku sayang banget sama kamu. Aku serasa tidak bisa hidup tanpa kamu. Kamu harus tau itu.” Kata Yudha
“Kamu pembohong. Semua yang kamu katakan padaku itu semuanya bohong. Semula, aku percaya sama kamu. Dan aku terima permintaan kamu kepada aku untuk menjadi pacar kamu, ternyata dibalik semua itu kamu sia-siakan semua ini. Aku kecewa sama kamu.” Kata Tita dengan muka kecewa dan berlinang air mata dipipinya.
Kemudian, dua buah mobil yang melaju dari arah yang berlawanan. Salah satu mobil itu melaju ke arah tempat berdirinya Tita. Kpiiiiiiiik kpiiiiiiip... suara klakson mobil berbunyi.
“Tita...... awas!” teriak Yudha
Kemudian, Yudha dengan buru-buru untuk langsung menyelamatkan Tita. Tetapi, mobil yang melaju di lawan arah menyambar Tita, dan mobil yang semula ingin menabrak Tita kemudian menabrak Yudha yang berniat untuk menyelamatkan Tita, namun mereka berdua terkena musibah. Mereka terkapar di jalan raya dengan posisi terlentang dan dengan style Tita berada dipelukan Yudha.
Mereka berdua langsung dilarikan ke rumah sakit. Untungnya ada sahabat-sahabat mereka yang mendampingi, jadinya merekalah yang menghubungi kedua orang tua Yudha dan Tita.
Saat di rumah sakit, Tita mengalami koma, sebab Tita mengalami pendarahan yang cukup berat pada luka-lukanya. Sayangnya lagi, Tita memiliki golongan darah O yang artinya hanya golongan darah yang sama lah atau sesama golongan darah O lah yang hanya bisa mendonorkan darahnya. Ibu Tita memiliki golongan darah A sedangkan ayahnya memiliki golongan darah O namun, ayahnya tidak bisa mendonorkan darahnya sebab Ia memiliki berbagai macam penyakit, diantaranya adalah penyakit mag. Nah, penyakit mag itu adalah salah satu penghambat seseorang untuk bisa mendonorkan darahnya. Jadi, Tita tidak bisa mendapat donor darah dari ayahnya. Disamping itu, PMI juga kehabisan cadangan golongan darah O. Sebab, sejak saat ini banyak yang membutuhkan golongan darah tersebut.
Setelah Yudha sadar, Yudha hanya langsung menanyakan keadaan Tita. Ketika Yudha mengetahui bahwa Tita kekurangan darah, Yudha langsung berbicara langsung kepada dokter yang menanganinya bahwa Ia juga memiliki golongan darah O dan ingin mendonorkannya kepada Tita seberapapun banyaknya agar Tita bisa sehat kembali.
Setelah didonorkan darah dari Yudha, Tita pun siuman dan terlepas dari fase koma. Yudha sangat bersyukur akan siumannya Tita.
Setelah ayah Tita mengetahui bahwa yang menyelamatkan nyawa anaknya itu adalah Yudha, hati ayah Tita langsung tersentuh dari pengorbanan Yudha kepada Tita. Ia telah mengetahui bahwa bagaimana jalinan kasih sayang antara Yudha dan putrinya itu.
Dengan kejadian itu ayah Tita pun merestui hubungan antara Yudha dengan putrinya
Setelah mereka telah sehat, mereka masih terbaring di ranjang rumah sakit karena kesehatannya masih dipertimbangkan oleh para dokter. Setelah membuka matanya, Tita dan Yudha langsung melihat kearah sahabat karibnya yang sudah berdiri dengan berpasang-pasangan dan pasangannya adalah sahabat dari kekasihnya. Yaitu, Nurul berpasangan dengan Gilang sedangkan Nungky berpasangan dengan Bayu.
Akhirnya, mereka semua bersatu dalam satu Titatan “Cinta” tak ada benci yang semula terajut. Dan semuanya menjadi sebuah harapan kebahagiaan.
“Dalam tubuhku telah mengalir darahmu, darahku , darah kita bersama.” Kata Tita dan Yudha secara bersamaan
“I LOVE YOU FOREVER, AND IN MY OPINION YOU IS THE BEST FOR ME AND FOR MY LIFE.” Kata mereka kembali dengan bersamaan

Suatu ketika, aku pernah harus merelakan sesuatu Sesuatu yang sama sekali tidak ingin kulepas Butuh proses yang cukup kuat untuk bisa meyaki...