Rabu, 03 Februari 2016

Apa Jadinya Bangsa Ini Tanpa Petani

SETIAP orangtua pasti menginginkan anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan darinya. Keinginan untuk mobilitas sosial ke arah yang progresif tersebut, membuat orangtua rela membanting tulang mencari nafkah supaya anaknya memperoleh pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan orangtua berani menyekolahkan anaknya hingga keluar negeri sekalipun.



Terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan. Hal ini tentu menjadi dorongan dan motivasi untuk semua orang supaya bisa menduduki jabatan yang tersedia, caranya yaitu dengan menempuh pendidikan dan spesialisasi ilmu tertentu.

Sebagai orangtua, tentunya wajib memberikan pendidikan yang setinggi-tingginya untuk sang buah hati, tidak terkecuali para petani. Para petani sudah tidak menginginkan anaknya menjadi petani seperti dirinya, sehingga tanpa memandang status sosial di masyarakat, seorang petani ikut berlomba menyekolahkan anaknya demi penghidupan yang lebih baik di masa depan, bahkan rela menggadaikan tanah demi memutus rantai kemiskinan.

Namun, apabila setiap petani tidak lagi menginginkan anaknya untuk menjadi seorang petani seperti dirinya, lalu siapakah yang akan menjadi petani di masa yang akan datang? Paradigma yang berkembang ini tentunya tidak begitu saja tercipta, hal ini ditelurkan karena para petani merasakan pahit dan susahnya menjadi seorang petani, apalagi harus dihadapkan dengan persaingan hidup yang semakin tinggi, kehidupan menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan.

Para petani juga ingin menaikkan status sosial supaya terpandang di mata masyarakat. Paradigma yang sudah membudaya ini adalah paradigma yang salah dan harus diperbaiki, karena apabila tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang menjadi petani, lalu siapa yang akan menghasilkan makanan pokok bangsa ini?

Pemerintah jangan memandang permasalahan ini sebagai permasalahan yang biasa. Mungkin menurut berbagai kalangan hal ini wajar didalam masyarakat, namun pemerintah harus melihat faktor-faktor penyebab timbulnya paradigma ini dikalangan produsen pangan tersebut.

Petani menjerit ketika harga pupuk naik, petani menjerit ketika sawahnya kekeringan dan puso, namun pemerintah seakan berlepas tangan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Ketika pemerintah menaikkan gaji PNS, dan mensejahterakan PNS, di saat itulah terjadi kecemburuan sosial yang sangat laten dari petani terhadap PNS, dan kecemburuan itu diungkapkan melalui keinginan petani supaya keturunan dibawahnya menjadi PNS di instansi pemerintah tertentu.

Apabila melihat sekilas keadaan petani di negara tetangga, di mana petaninya sangat dihargai di negara tersebut. Misalnya saja Negara Vietnam dan Thailand, petani di Vietnam mendapatkan ganti rugi jika hasil panen berkurang. Mereka tidak perlu khawatir soal kerugian dari panen yang rendah karena bencana alam seperti kekeringan, banjir dan angin topan.

Pada 10 November 2010, Swiss Re mengumumkan perkenalan program asuransi berbasis indeks, yang pertama di Asia Tenggara, yang dikembangkan bersama Vietnam Agribank Insurance Joint Stock Company (ABIC) untuk menutupi pinjaman kepada petani padi di 10 provinsi di Vietnam, dengan kemampuan memperpanjang skema untuk seluruh negeri.

Menurut perjanjian itu, ABIC, cabang asuransi Agribank, bank pertanian dan penyedia utama pinjaman pertanian di Vietnam, akan menjamin nasabah petani padi AgriBank terhadap ketidakmampuan membayar kembali pinjaman karena panen yang rendah (http://www.antaranews.com).

Begitupun Thailand, merupakan negara pengekspor beras terbesar dunia, sudah lama berusaha memimpin upaya peningkatan harga beras. Pemerintah negara Gajah Putih tersebut membayar beras dari petani dalam negeri di atas harga pasar. Tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran daerah pedesaan. Bangkok enggan menambah pasokan beras ke pasar dengan menurunkan harga. Akibatnya, cadangan beras Thailand kini sudah melebihi 16 juta ton. (http://realtime.wsj.com).

Pemerintah Indonesia seharus dan sepantasnya mencontek tindakan dan gebrakan pemerintah negara-negara tetangga tersebut. Pasalnya, petani di Vietnam dan Thailand merupakan contoh petani yang makmur dan sejahtera. Mereka juga bangga menjadi seorang petani, karena mendapatkan perhatian yang lebih dan sangat dihargai oleh pemerintahnya.

Sedangkan di Indonesia, pekerjaan menjadi petani merupakan pekerjaan yang rendah atau pekerjaan masyarakat kelas menengah ke bawah. Padahal, dari pekerjaan petani ini mampu memberi makan dan menghidupkan lebih dari 230 juta penduduk Indonesia. Vietnam dengan wilayah yang kecil, yaitu hanya 329.560 km² dan Thailand dengan luas wilayah hanya 514.000 km² mampu menjadi negara importir beras dunia, sedangkan Indonesia dengan wilayah daratan Indonesia mencapai 1.922.570 km².

Jangankan menjadi negara eksportir, memenuhi kebutuhan dalam negeri saja harus mengimpor dari negara lain, dan menjadi negara importir terbesar didunia. (www.edukasi,kompasiana.com).

Ironis memang, sebagai wilayah tersubur di dunia, tidak sewajarnya apabila kita mengimpor beras. Jika paradigma ini terus dipupuk dan subur dikalangan petani Indonesia, maka akan terjadi kehilangan petani di negeri ini, dan bisa saja kita mengimpor 10%, 20%, 50% bahkan 100% kebutuhan pangan dalam negeri karena tiadanya penduduk dari negara berlambang garuda ini yang menjadi petani. Tidak ada yang tidak mungkin, jika tidak dibenahi dengan cepat, ketakutan itu akan datang sejalan dengan waktu.


Semoga pemerintah memahami semua jeritan hati petani yang terwakili lewat goresan hitam di atas putih ini. Tulisan ini pun sengaja ditulis oleh seorang anak petani. Petani tidak meminta banyak hal, mereka hanya ingin diperhatikan sebagai bagian dari bangsa ini, kerja kerasnya harus dihargai dengan memberikan kesejahteraan untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suatu ketika, aku pernah harus merelakan sesuatu Sesuatu yang sama sekali tidak ingin kulepas Butuh proses yang cukup kuat untuk bisa meyaki...