Nama aku Adit. Umur aku 20 tahun
lebih 3 bulan 2 hari 3 jam. Detil banget aku ya...
Aku bangga banget punya nama
sekeren Adit. Mirip nama artis ngetop sih. Entah apa yang ada di pikiran aku waktu ngasih aku nama itu. Sebenarnya aku bukan orang tajir sih,
tapi dia punya otak yang lumayan cerdas.
Aku sekarang jomblo. Bukannya aku
bangga dengan kejombloan aku, cuma aku mikir kalau jomblo itu keren. Dan aman
di kantong. Mengingat uang saku kuliah aku pas-pasan, mana cukup untuk nraktir
seorang cewek. Makan di kantin aja aku sering ngutang. Makanya wajah aku sering
nongol di facebooknya ibu kantin. Dengan stempel "WANTED" pula.
Busyet dah...
Seperti biasa, siang ini aku
nongkrong didepan kampus bareng temen-temen setia aku. Ada Shandy, Niko dan Radit.
Shandy adalah orang paling tajir diantara kami bertiga. Wajahnya lumayan keren,
kulitnya putih dan tinggi. Banyak banget cewek yang naksir dia.
Sobat aku yang kedua adalah Niko.
Dia anak ustadz. Makanya dialah yang paling alim diantara kami semua.
Sedang Radit adalah yang paling
jenius diantara kami berempat. Dia seperti cahaya terang dikegelapan malam saat
datang rintik hujan bersama sebuah bayang. Apaan, Iwan Fals. Lebay-nya aku...
Tapi kami semua jomblo. Nggak
tahu kenapa kami susah banget dapet cewek. Padahal wajah kami lumayan tampan
dan penampilan kami juga keren. Cie-cie orang keren. Tapi jangan salah,
meskipun kami jomblo kami tetap bahagia.Hahahah...
"Liburan semester ntar
kemana guys?" tanya si tajir Shandy memulai topik percakapan.
"Aku sih mau ngitemin
kulit,"sahutku cepat. Kulit dah sawo matang gitu mau berjemur lagi, entar
pulang berjemur dah mirip orang Papua sana. Hahaha...
"Maksud loe?"sahut Radit
seraya mengerutkan dahinya yang ditumbuhi sebuah jerawat kecil.
"Aku mau liburan ke Bali.
Berjemur di pantai gitu,"jelasku melantur.
Mereka bertiga langsung
meledakkan tawa. Geli mendengar celutukanku.
"Mau ngitemin kulit aja
ngapain jauh-jauh ke Bali segala? Tuh, berjemur aja di atas genteng rumah aku.
Sama kok itemnya," ledek Radit sembari menepuk pundakku. Disambut tawa
lagi oleh Shandy dan Niko.
"Sebenernya aku mau
dijodohin nih," ungkap Shandy beberapa saat setelah suasana mereda.
Kami bertiga kaget. Di jaman
semodern ini kok masih ada acara perjodohan seperti itu? Maklumlah orang kaya.
Mereka takut dapat menantu orang miskin. Yah, kayak Siti Nurbaya gitu deh..
"Bukannya itu bagus buat
loe, Shan," timpal Niko." Jadi loe nggak jomblo lagi dong."
"Bener tuh kata Niko," sahut
aku ikut nimbrung.
"Kalian sih nggak
tahu," tukas Shandy dengan wajah yang tak begitu gembira."Aku tuh
naksir sama Risty. Kalian juga tahu itu kan..?"
Kami manggut-manggut. Emang dari
dulu Shandy naksir berat sama Risty. Cewek itu emang bener-bener istimewa.
Cantik, tinggi, langsing, dan aktif di kegiatan sosial kampus. Idaman Shandy
banget.
"Tapi apa loe akan menolak
perjodohan itu..?" tanya Radit kemudian. Meminta pendapat Shandy.
"Aku nggak tahu,"ucap
Shandy seraya menggeleng.
"Sabar ya bro,"ucapku
sembari menepuk-nepuk pundak Shandy."Menurut aku apa yang dipilihkan orang
tua loe, pasti yang terbaik buat loe.." ucap aku sok berdiplomatis ala-ala
pengacara ulung gitu..
"Ah loe, Dit. Coba loe yang
dijodohin, emang loe mau apa..?" celutuk Radit sekenanya.
"Aku sih mau-mau aja,
Ka," cerocosku seraya nyengir kuda.
"Dasar lo! Nggak punya
malu," olok Radit. Dan ujung-ujungnya ketiga sobat aku itu menimpuk bahu aku
sampai aku kapok meringis kesakitan.
***
"Udah pulang Dit..?" seru
bokap aku dari kamar. Siang-siang gini ia pasti sedang sibuk tidur siang
sepulang dari kantor kecamatan.
"Iya, Yah..!" balasku
dengan berseru pula. Tumben dia nggak ngomel karena aku pulang telat.
Aku langsung ngacir ke dapur
karena perut aku sudah kelaparan dari tadi. Masak apa nyokap aku hari ini?
"Kok cuma tahu goreng sama
ikan asin sih.." gerutu aku saat mengetahui apa yang tersembunyi dibalik
tudung saji.
"Udah dimakan aja.."sahut
nyokap aku yang tiba-tiba muncul di belakang aku."Itu juga rezeki dari
Allah yang patut kita syukuri.." imbuhnya lagi.
Kalau sudah bicara seperti Ustadzah
yang biasa nongol di tivi seperti itu aku nggak bisa berkomentar apa-apa. Tanpa
banyak bicara aku langsung mengambil piring kosong dan menyenduk nasi. Meskipun
makan hanya dengan lauk tahu dan ikan asin goreng, tapi jika nyokap yang masak
tetap saja nikmat. Terlebih perut aku sudah nggak kuat menahan lapar lebih lama
lagi.
"Kalau udah kelar makannya,
cuci piringnya sekalian. Ibu mau nganter cucian kerumah Bu Retno,"
Aku kaget. Dan langsung berdiri
dari tempat duduk aku seperti baru saja kesetrum listrik. Pasalnya nyokap aku
baru saja menyebut nama Bu Retno. Bukankah Bu Retno adalah ibunya Dewi, cewek
impian aku yang punya senyum termanis di gang ini.
"Biar Adit aja yang
nganterin cuciannya,"tawarku dengan suara lantang. Bersemangat.
"Tumben.." sahut nyokap
heran."Biasanya kamu paling males kalau disuruh nganter cucian.."
"Ah, ibu ini. Dibantuin
bukannya berterimakasih.." ucap aku bersungut-sungut. Aku bergegas
mengambil alih cucian yang harus segera diantar ke rumah Dewi.
"Hati-hati..!"
"Sip..!"
Aku menyambar kunci motor Vespa
milik bokap aku di atas meja lantas bergegas mengendarai motor buatan Italy itu
menuju ke rumah Dewi. Sebenarnya jarak dari rumah aku ke rumah Dewi nggak
begitu jauh. Tapi aku males jalan kaki karena matahari sedang di atas kepala.
Panas menyengat kulit.
"Mau kemana Dit..?!"
Seruan itu datang dari mulut Bang
Supri, tetangga sebelah rumah. Aku dan Bang Supri satu geng. Hampir tiap malam
kami bermain catur bersama. Kadang kami pergi meronda bareng. Nonton bola
sambil ngopi di warung, sesekali taruhan juga. Pokoknya aku dan dia seperti
saudara kembar tapi bukan kembar siam. Seperti Upin dan Ipin.
"Mau nganter cucian Bang,
Mau ikut.?" balasku seraya berteriak.
"Makasih dah..!"sahutnya.
"Yok Bang, aku pergi dulu..!"
Sambil bersiul kecil aku meluncur
pelan di gang. Anak-anak kecil banyak berkeliaran di tepi jalan membuat aku
kudu ekstra hati-hati.
Aku sampai didepan rumah Dewi
dengan selamat. Tapi apes nasib aku kali ini. Karena yang membuka pintu bukan
Dewi, tapi bRaditpnya.
"Siang Om.." sapa aku
sopan. Siapa tahu bokap Dewi terkesan dengan sikap sopan aku sehingga aku
dijadiinn mantunya. Ngarep banget sih aku, hehe....
"Siang, Adit. Ada apa ya..?"
"Ini Om, mau nganter
cucian.." ucap aku sambil menyerahkan bungkusan ditangan aku.
"Rajin amat," puji bokap
Dewi. Membuat kepala aku serasa melembung jadinya.
"Ah, nggak juga. Kebetulan
ibu lagi capek.." sahutku pura-pura malu. Aku nggak perlu lama-lama ada
disana. Aku langsung pamit setelah memberikan cucian itu pada pemiliknya.
Lagian Dewi-ku juga nggak nongol.
Apesnya aku hari ini. Impian aku
ketemu sang Dewi pujaan hati pupuslah sudah. Alamak....
***
"Shandy mana..? Kok aku
belum ngeliat dia seharian ini..?"celutuk Radit seraya meletakkan mangkuk
bakso dan segelas es teh diatas meja kantin.
Kali ini tongkrongan kami pindah
ke kantin. Selain disana adem juga kami ingin mengisi perut yang kosong.
"Dia udah pulang duluan.
Katanya mau jemput ceweknya.."sahut aku cepas ceplos.
"Cewek yang mana..?" timpal
Radit sedikit heran.
"Yang mana lagi kalau bukan
yang dijodohin sama dia.."jawab aku.
"Dia mau sama cewek itu..?"
tanya Radit sambil mengunyah makan siangnya.
"Gimana mau nolak, kalau
cewek itu cantiknya selangit. Selevel sama dia lagi.."sahut aku antusias.
"Wow, ini baru berita bagus
bro..!" seru Radit tampak gembira mendengar kabar tentang Shandy. Tapi
yang aneh kenapa si alim Niko diem terus dari tadi. Nggak biasanya dia seperti
itu.
"Loe kenapa sih bro, kok
diem mulu dari tadi..? Loe punya masalah..?"
Aku menepuk pundak Niko pelan.
Takut dia akan kaget dan berteriak menakuti seisi kantin.
Niko menggeleng. Tapi bener juga,
gelagatnya aneh. Seperti bukan Niko yang biasanya.
"Loe sakit..?" desak Radit
ikut nimbrung. Tapi lagi-lagi Niko menggelengkan kepalanya.
"Aku sedang jatuh cinta bro."
ungkap Niko beberapa saat kemudian. Cukup pelan tapi membuat aku dan Radit
shock.
"Whaaat???!!!" teriak aku
tanpa sadar. Menimbulkan reaksi dari seisi kantin, termasuk ibu kantin yang
gendut itu. Wanita itu langsung mendelikkan matanya ke arah aku.
Aku cuma bisa nyengir sambil
melambaikan tangan ke arah ibu kantin. Lalu tersenyum semanis semangka untuk
meluluhkan hati wanita gendut idola mahasiswa-mahasiswa kelaparan itu.
Kembali ke topik semula....
"Yang bener bro..? Sama
siapa..? Cantik nggak..?" serbu aku penasaran.
"Loe tuh nggak bisa
pelan-pelan apa..? Nanya tuh satu-satu dong.."protes Niko ke aku.
Aku cekikikan melihat reaksi Niko.
"Abisnya aku penasaran
banget sih.." tukas aku kemudian.
"Terus terus gimana..?"
celutuk Radit menengahi.
"Dia tuh kalem banget bro,
anaknya Ustadz di tempat aku. Tapi aku takut mau nembak dia. Aku takut
ditolak.." papar Niko sesingkat mungkin.
"Kalau loe takut kapan loe
punya cewek..?" timpal Radit cepat."Mendingan loe ditolak daripada
loe nggak pernah ngungkapin perasaan loe sama dia. Aku bener kan.?" lanjutnya
lagi.
"Bener bener.." sahut aku
sambil manggut-manggut. Ucapan si jenius memang bener.
"Tapi..."
"Loe takut..?" tanya Radit.
Disambut gelengan kepala Niko."Terus..?" desak Radit mengejar.
"Aku nggak pede.."ucap Niko
pelan.
"Pake Rexona dong biar
pede.." celutukku sekenanya.
"Loe nih, serius dikit
napa.." protes Niko seraya bersungut-sungut ke arah aku. Dari dulu
penyakit usil aku belum sembuh juga.
"Sorry...sorry.." ucap aku
kemudian memperbaiki suasana.
"Pantesan aja dari dulu loe
jadi jomblo. Karatan lagi.."ledek Radit diiringi gelak tawa. Niko juga
ikut meledakkan tawanya.
"Jomblo aku jangan
dibawa-bawa dong.." ucap aku sewot. "Biar jomblo gini aku tetep keren
kok.."
"Huuuuuu..." mereka
berdua menyoraki aku dengan kompak seperti paduan suara saja.
***
Akhirnya Shandy jadian juga
dengan cewek yang dijodohkan dengannya. Aku ikut senang mendengarnya.
Kebahagiaan sahabat berarti kebahagiaan aku juga.
Niko juga sama. Ada perkembangan
baik tentang asmaranya.
Tinggal nasib aku dan Radit yang
dipertaruhkan disini. Aku sama Radit masih sama-sama jomblo. Itulah pokok
persoalannya. Rumit bukan..?
Imbasnya siang ini sepulang
kuliah tempat tongkrongan kami sepi. Cuma aku yang celingak-celinguk mencari
anggota geng aku. Tapi nggak ada satupun yang tampak batang hidungnya.
Akhirnya aku kabur ke kantin
untuk menyelamatkan perut aku yang keroncongan. Daripada menunggu mereka di
tempat biasa mending aku ke kantin sambil cuci mata. Lagian pulsa aku juga
habis, nggak bisa buat sms-in mereka satu-persatu.
"Mau ngutang lagi..?" serbu
ibu kantin dengan tampang tergalaknya.
"Ah ibu kantin tersayang...."
aku mulai mengeluarkan jurus maut rayuan gombal termanis yang aku
punya."Masa cowok seganteng dan sekeren aku mau ngutang sih. Apa kata
dunia..?"
"Halaa... biasanya juga loe
ngutang.." timpal ibu kantin denngan gaya genitnya.
"Emang boleh ngutang..?"
bisik aku sambil mengedipkan sebelah mata.
"Boleh.." sahut ibu
kantin sambil tersenyum manis."Tapi loe harus nyuci piring disini gratis
selama sebulan. Gimana..? Mau nggak..?"
"Aih, ibu kantin ini tega banget.."ucap
aku berlagak memelas."Emang ibu kantin udah nggak sayang lagi sama Adit,
cowok terkeren di kampus ini..?" tawa aku meledak saat itu juga.
"Udah jangan banyak ngomong,
loe mau makan atau nggak sih..?"desak ibu kantin penuh pemaksaan.
"Nggak jadi deh, aku mau
pulang aja.." ucap aku sambil ngeloyor pergi dari hadapan ibu kantin.
"Dasar nih anak. Awas kalau
kesini lagi.." gerutu ibu kantin kesal. Sementara aku hanya bisa cekikikan
melihat reaksi ibu kantin yang menggelikan.
Pas pulang aku melihat Dewi
sedang dibonceng seorang cowok. Sepertinya pacar Dewi, karena setahu aku Dewi
nggak punya saudara laki-laki. Kebayang kan bagaimana hancur luluhnya hati aku.
Ternyata sang Dewi pujaan hati sudah ada yang punya.
Oh my God...
Beginilah rasanya orang patah
hati. Kasih tak sampai.Hiks....
***
"Jalan Bang.." suruh aku
pada Bang Supri. Aku sedang main catur dengannya. Dan sepertinya Bang Supri
sedang terjepit.
"Malem Minggu nggak keluar
Dit..?" tanya Bang Supri di sela -sela pertandingan.
Nih orang mulai mengalihkan
perhatian,batin aku agak kesal. Ini termasuk salah satu trik Bang Supri agar aku
kehilangan konsentrasi.
"Males Bang. Nggak punya
duit.." sahut aku beralasan.
"Nggak punya duit atau nggak
punya cewek..?" sindir Bang Supri tenang. Ia menjalankan pionnya kemudian.
"Nggak punya dua-duanya,
Bang.." sahut aku jujur.
Bang Supri terkekeh.
"Emang si Dewi kenapa..? Loe
udah nggak suka sama dia..?" cecar Bang Supri ingin menyingkap rahasia
hidup aku.
"Dia udah punya cowok Bang.."
sahut aku.
"Sabar Dit.." ucap Bang
Supri sambil menepuk-nepuk pundak aku."Skak mat..!" serunya
mengejutkan aku.
"Kirain sabar apaan.." gumam
aku.Aku kalah lagi untuk kesekian kalinya.
"Loe haus nggak..?" tanya
Bang Supri lagi.
"Haus sih Bang, tapi aku
lagi bokek nih.."
"Tenang aja, aku yang
bayarin. Tapi kopi segelas sama pisang goreng doang.."
"Oke. Nggak papa.." sahut
aku girang.
Aku dan Bang Supri bergegas
melangkah ke warung kopi yang terletak di dekat pos ronda. Seperti biasa. Untuk
meneguk segelas kopi dan sebuah pisang goreng sembari bercerita ngalor ngidul
bareng bapak-bapak yang rutin ngumpul disana.
Beginilah nasib seorang jomblo
seperti aku. Menikmati hidup yang ada. Meski ada yang kosong dalam hati dan
hidup aku, tapi aku nggak pernah merasa kesepian. Aku selalu merasa bahagia
dengan apa yang aku punya sekarang.
Tapi aku yakin Tuhan sedang
mempersiapkan seseorang yang terbaik buat aku di suatu tempat. Dan dia juga
merasakan kejombloan seperti yang aku rasakan sekarang.
Buat aku menjadi jomblo itu bukan
sesuatu yang memalukan. Selama aku bisa menikmatinya, dan enjoy dengan hidup aku
kenapa nggak..? Karena buat aku jomblo itu indah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar