Selfie atau memotret diri sendiri bisa jadi ajang aktualisasi
diri. Jadi sekali-dua kali selfie mungkin tak jadi soal. Lantas bagaimana
dengan yang keranjingan selfie? Apa kabar kesehatan mentalnya?
Politisi yang juga psikiater, dr Nova Riyanti
Yusuf, SpKJ menegaskan selfie dapat memicu munculnya gejala gangguan
kepribadian seperti narsisistik dan histrinoik (caper atau ingin jadi pusat
perhatian).
"Gangguan kepribadian ini bukan timbul karena
yang bersangkutan sering selfie. Kemungkinan sudah terbentuk kepribadian
tersebut lalu ditemukan mediumnya untuk memunculkan gejala," katanya.
Apa saja dampak selfie terhadap kesehatan mental
seseorang, apalagi bila sudah sampai pada taraf keranjingan? Simak pemaparannya
seperti dirangkum detikHealth dari berbagai sumber, Kamis
(14/8/2014) berikut ini.
1. Narsis
Seperti halnya yang dialami seorang pemuda bernama
Kurt Coleman dari Australia. Hampir setiap hari ia lewatkan dengan berfoto
selfie, yang kemudian ia unggah ke berbagai akun jejaring sosial miliknya,
seperti Instagram dan Facebook.
Tak lupa dalam setiap fotonya, Kurt selalu memuji
dirinya sendiri. "I'm in love with this photo of me, SimplyAmazing,"
tulisnya pada salah satu foto di Instagram saat berpose mengenakan jaket jeans
atau "Aku tampan dan aku mencintai diriku sendiri," tulisnya dalam
kesempatan lain.
2. Adiksi atau kecanduan
Bisa dibilang kasus yang dialami remaja asal
Inggris bernama Danny Bowman terbilang langka. Pasalnya ia sangat terobsesi
pada foto selfie yang sempurna. Hingga bila hasil jepretannya tak memuaskan,
Danny akan frustrasi, tak mau keluar rumah dan menolak makan.
Bahkan suatu ketika remaja berusia 19 tahun itu
pernah mencoba bunuh diri dengan overdosis obat.
3. Histrionik
Mungkin belum banyak yang pernah mendengar istilah
histrionik ini. Ini sebenarnya merupakan gangguan kepribadian di mana
penderitanya ingin menjadi pusat perhatian. Sebagian besar penggila selfie
sering diidentikkan dengan kondisi ini, tentu saja di samping narsis.
Seperti halnya yang terjadi pada wanita bernama
Triana Lavey dari Los Angeles. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana
caranya terlihat cantik saat selfie. Ia pun mengaku menghabiskan uang hingga
sebanyak Rp 174 juta hanya untuk operasi plastik, di antaranya implan dagu dan
operasi hidung.
"Kini aku memiliki wajah yang selalu aku
idamkan. Aku seperti diriku dengan versi photoshop," ujar wanita berambut
brunette itu dengan bangga.
4. Body Dismorphic Disorder (BDD)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
University of Strathclyde, Ohio University dan University of Iowa ditemukan
bahwa semakin banyak wanita melakukan selfie dan mengunggahnya di media sosial,
maka semakin mereka merasa insecure atau tidak nyaman dengan citra tubuhnya
sendiri.
Apalagi bila kegiatan ini disambi dengan mengamati
selfie teman-temannya. Karena ini akan memicu si wanita untuk
membanding-bandingkan tubuhnya dengan tubuh orang lain, dan hal ini semakin
memicu mereka untuk berpikir negatif tentang penampilannya.
"Mereka yang masih berusia muda biasanya
membandingkan diri mereka dengan foto-foto orang lain di media sosial. Yang
berbahaya, mereka pada akhirnya merasa bersalah jika tubuh mereka tak seperti
yang mereka lihat dari orang lain di media sosial," kata peneliti Petya
Eckler.
5. Eksibisionis
Eksibisionis atau kecenderungan untuk memamerkan
bagian tubuh tertentu kepada orang lain bisa juga dipicu oleh kebiasaan selfie.
Seperti yang terjadi pada seorang staf wanita di parlemen Swiss yang kedapatan
berpose bugil di gedung parlemen lantas mengunggahnya ke Twitter.
Anehnya, ia merasa selfie bugil adalah bagian dari
kehidupan pribadinya dan mengaku sering melakukannya di jam kerja. Akan tetapi
dr Tun Kurniasih Batsaman SpKJ(K) dari Sanatorium Dharmawangsa mengingatkan seseorang
baru bisa dikatakan mengidap eksibisionis bila ia bisa memamerkan organ
intimnya ke orang lain untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Sementara itu tidak diketahui apa motif si staf
parlemen Swiss itu di balik kebiasaan selfie bugilnya di kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar