SETIAP orangtua pasti menginginkan anaknya mendapatkan
pekerjaan yang lebih mapan darinya. Keinginan untuk mobilitas sosial ke arah
yang progresif tersebut, membuat orangtua rela membanting tulang mencari nafkah
supaya anaknya memperoleh pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan
orangtua berani menyekolahkan anaknya hingga keluar negeri sekalipun.
Terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia, di mana
setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki suatu jabatan
tertentu di pemerintahan. Hal ini tentu menjadi dorongan dan motivasi untuk
semua orang supaya bisa menduduki jabatan yang tersedia, caranya yaitu dengan
menempuh pendidikan dan spesialisasi ilmu tertentu.
Sebagai orangtua, tentunya wajib memberikan pendidikan yang
setinggi-tingginya untuk sang buah hati, tidak terkecuali para petani. Para
petani sudah tidak menginginkan anaknya menjadi petani seperti dirinya,
sehingga tanpa memandang status sosial di masyarakat, seorang petani ikut
berlomba menyekolahkan anaknya demi penghidupan yang lebih baik di masa depan,
bahkan rela menggadaikan tanah demi memutus rantai kemiskinan.
Namun, apabila setiap petani tidak lagi menginginkan anaknya
untuk menjadi seorang petani seperti dirinya, lalu siapakah yang akan menjadi
petani di masa yang akan datang? Paradigma yang berkembang ini tentunya tidak
begitu saja tercipta, hal ini ditelurkan karena para petani merasakan pahit dan
susahnya menjadi seorang petani, apalagi harus dihadapkan dengan persaingan
hidup yang semakin tinggi, kehidupan menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan.
Para petani juga ingin menaikkan status sosial supaya
terpandang di mata masyarakat. Paradigma yang sudah membudaya ini adalah
paradigma yang salah dan harus diperbaiki, karena apabila tidak ada lagi
masyarakat Indonesia yang menjadi petani, lalu siapa yang akan menghasilkan
makanan pokok bangsa ini?
Pemerintah jangan memandang permasalahan ini sebagai
permasalahan yang biasa. Mungkin menurut berbagai kalangan hal ini wajar
didalam masyarakat, namun pemerintah harus melihat faktor-faktor penyebab
timbulnya paradigma ini dikalangan produsen pangan tersebut.
Petani menjerit ketika harga pupuk naik, petani menjerit
ketika sawahnya kekeringan dan puso, namun pemerintah seakan berlepas tangan
terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Ketika pemerintah
menaikkan gaji PNS, dan mensejahterakan PNS, di saat itulah terjadi kecemburuan
sosial yang sangat laten dari petani terhadap PNS, dan kecemburuan itu
diungkapkan melalui keinginan petani supaya keturunan dibawahnya menjadi PNS di
instansi pemerintah tertentu.
Apabila melihat sekilas keadaan petani di negara tetangga,
di mana petaninya sangat dihargai di negara tersebut. Misalnya saja Negara
Vietnam dan Thailand, petani di Vietnam mendapatkan ganti rugi jika hasil panen
berkurang. Mereka tidak perlu khawatir soal kerugian dari panen yang rendah
karena bencana alam seperti kekeringan, banjir dan angin topan.
Pada 10 November 2010, Swiss Re mengumumkan perkenalan
program asuransi berbasis indeks, yang pertama di Asia Tenggara, yang dikembangkan
bersama Vietnam Agribank Insurance Joint Stock Company (ABIC) untuk menutupi
pinjaman kepada petani padi di 10 provinsi di Vietnam, dengan kemampuan
memperpanjang skema untuk seluruh negeri.
Menurut perjanjian itu, ABIC, cabang asuransi Agribank, bank
pertanian dan penyedia utama pinjaman pertanian di Vietnam, akan menjamin
nasabah petani padi AgriBank terhadap ketidakmampuan membayar kembali pinjaman
karena panen yang rendah (http://www.antaranews.com).
Begitupun Thailand, merupakan negara pengekspor beras
terbesar dunia, sudah lama berusaha memimpin upaya peningkatan harga beras.
Pemerintah negara Gajah Putih tersebut membayar beras dari petani dalam negeri
di atas harga pasar. Tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran daerah pedesaan.
Bangkok enggan menambah pasokan beras ke pasar dengan menurunkan harga.
Akibatnya, cadangan beras Thailand kini sudah melebihi 16 juta ton.
(http://realtime.wsj.com).
Pemerintah Indonesia seharus dan sepantasnya mencontek
tindakan dan gebrakan pemerintah negara-negara tetangga tersebut. Pasalnya,
petani di Vietnam dan Thailand merupakan contoh petani yang makmur dan
sejahtera. Mereka juga bangga menjadi seorang petani, karena mendapatkan
perhatian yang lebih dan sangat dihargai oleh pemerintahnya.
Sedangkan di Indonesia, pekerjaan menjadi petani merupakan
pekerjaan yang rendah atau pekerjaan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Padahal, dari pekerjaan petani ini mampu memberi makan dan menghidupkan lebih
dari 230 juta penduduk Indonesia. Vietnam dengan wilayah yang kecil, yaitu
hanya 329.560 km² dan Thailand dengan luas wilayah hanya 514.000 km² mampu
menjadi negara importir beras dunia, sedangkan Indonesia dengan wilayah daratan
Indonesia mencapai 1.922.570 km².
Jangankan menjadi negara eksportir, memenuhi kebutuhan dalam
negeri saja harus mengimpor dari negara lain, dan menjadi negara importir
terbesar didunia. (www.edukasi,kompasiana.com).
Ironis memang, sebagai wilayah tersubur di dunia, tidak
sewajarnya apabila kita mengimpor beras. Jika paradigma ini terus dipupuk dan
subur dikalangan petani Indonesia, maka akan terjadi kehilangan petani di
negeri ini, dan bisa saja kita mengimpor 10%, 20%, 50% bahkan 100% kebutuhan
pangan dalam negeri karena tiadanya penduduk dari negara berlambang garuda ini
yang menjadi petani. Tidak ada yang tidak mungkin, jika tidak dibenahi dengan
cepat, ketakutan itu akan datang sejalan dengan waktu.
Semoga pemerintah memahami semua jeritan hati petani yang
terwakili lewat goresan hitam di atas putih ini. Tulisan ini pun sengaja
ditulis oleh seorang anak petani. Petani tidak meminta banyak hal, mereka hanya
ingin diperhatikan sebagai bagian dari bangsa ini, kerja kerasnya harus
dihargai dengan memberikan kesejahteraan untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar